Facebook Pixel

Financial Management untuk Non-Finance Founder

Kebanyakan founder startup punya cerita yang sama. Mereka punya ide brilian, tim yang solid, bahkan sudah dapat customer pertama. Tapi ada satu masalah yang jarang dibahas: managing keuangan

  • Admin Founderplus
  • Monday, Nov 03, 2025

Financial Management untuk Non-Finance Founder

Kebanyakan founder startup punya cerita yang sama. Mereka punya ide brilian, tim yang solid, bahkan sudah dapat customer pertama. Tapi ada satu masalah yang jarang dibahas: managing keuangan itu ternyata jauh lebih susah dari yang dibayangkan.

Bukan soal cara raise funding atau bikin pitch deck yang keren. Ini soal hal yang lebih basic—gimana caranya tidak kehabisan uang di bulan ke-8 karena tidak tahu berapa sebenarnya burn rate perusahaan.

Artikel ini bukan akan kasih framework kompleks atau spreadsheet dengan puluhan tabs. Cuma 5 hal praktis yang kalau dilakukan, peluang startup untuk survive naik drastis:

Lima hal yang perlu dilakukan sekarang:

Pisahkan rekening pribadi dan bisnis hari ini juga (15 menit setup)

Tracking expenses setiap minggu bukan bulanan (cuma butuh 15 menit Jumat sore)

Breakdown target revenue jadi milestone bulanan yang jelas (biar tahu exactly apa yang harus dilakukan)

Otomasi bookkeeping pakai software (hemat 10 jam/bulan)

Hire finance help lebih cepat dari yang dikira perlu (lebih murah daripada fixing mistakes)

Action step: Pilih satu tips, implement minggu ini. Seriously, cukup satu dulu.


Kenapa Kebanyakan Founder Gagal Karena Masalah Uang

Ada statistik yang cukup mengejutkan: sekitar 82% startup tutup karena cash flow problem. Bukan karena produknya jelek atau tidak ada market. Tapi karena kehabisan duit.

Yang lebih ironis, kebanyakan founder ini sebenarnya punya uang. Mereka cuma tidak tahu kemana uangnya pergi.

Sarah, founder startup SaaS di Silicon Valley, punya cerita yang menarik. Startup-nya actually growing nicely. MRR naik tiap bulan, customer happy. Tapi suatu hari advisornya bertanya sederhana: "Burn rate kamu berapa?"

Sarah tidak bisa jawab.

Setelah dihitung ulang selama tiga minggu, ternyata dia sudah overspend 40 ribu dollar dalam 3 bulan terakhir. Bagaimana bisa? Karena tracking expenses-nya hanya dilakukan saat "sempat"—yang artinya hampir tidak pernah.

Sarah akhirnya harus menjalani emergency fundraising. Equity diluted lebih banyak dari seharusnya. Semua karena hal yang bisa dihindari.


Pisahkan Rekening Pribadi dan Bisnis Sekarang Juga

Terdengar sangat obvious, tapi banyak sekali founder yang masih mencampur rekening pribadi dengan bisnis.

Bayangkan situasi ini: seorang founder sedang prepare untuk investor meeting besok pagi. Jam 2 malam accountant-nya menelepon dengan nada panik: "Tidak bisa membedakan mana expenses bisnis dan mana yang pribadi. Books-nya berantakan total. Kita harus postpone meeting."

Investor di pagi harinya email: "Actually, we'll pass."

Satu kesalahan kecil seperti ini bisa menghilangkan funding round senilai jutaan rupiah.

Memisahkan rekening itu critical karena beberapa alasan. Pertama, urusan pajak. Kantor pajak akan langsung red flag kalau ada pencampuran. Kedua, hampir mustahil untuk tahu apakah bisnis profitable atau tidak kalau expenses tercampur dengan pembelian pribadi seperti kopi atau makan siang. Ketiga, investor langsung tahu bahwa ini founder yang kurang profesional begitu melihat pembukuan yang berantakan.

Solusinya sederhana. Buka rekening bisnis hari ini juga. Pilih bank yang memang menyediakan layanan untuk bisnis dengan fitur yang proper. Untuk startup di Indonesia, bisa pertimbangkan bank digital atau bank konvensional yang punya produk khusus untuk SME. Kemudian apply untuk business credit card.

Setelah rekening terpisah, integrasikan dengan accounting software. QuickBooks dan Xero adalah pilihan populer, atau Wave untuk yang bootstrapped karena gratis. Yang penting adalah auto-sync dengan bank transactions, jadi tidak perlu manual input lagi.

Proses ini butuh waktu sekitar 15 menit, tapi impact-nya bisa menyelamatkan perusahaan.


Tracking Expenses Harus Mingguan, Bukan Bulanan

Ini yang membunuh kebanyakan founder. Mereka berpikir: "Nanti saja akhir bulan reconcile semua transaksi."

Akhir bulan sudah terlambat.

Cerita Michael, founder e-commerce di Jakarta, cukup representatif. Dia tracking expenses hanya saat "ada waktu"—yang practically artinya tidak pernah. Tiga bulan kemudian, dia menyadari sudah overspend hampir setengah dari runway yang tersedia.

Yang lebih menyebalkan, dia harus menghabiskan waktu tiga minggu untuk merekonstruksi 90 hari transaksi dari email receipts, bank statements, dan—literally—ingatan samar-samar. Hampir telat bayar gaji karyawan gara-gara ini.

Setelah pengalaman traumatis tersebut, Michael mengimplementasikan yang dia sebut "Finance Friday"—15 menit setiap Jumat sore untuk review expenses. Menggunakan kombinasi Expensify dan QuickBooks untuk automasi.

Enam bulan kemudian, dia berhasil raise Series A. Komentar pertama dari investor: "Financial hygiene kalian impressive. Kebanyakan early-stage company berantakan."

Rutinitas mingguan yang Michael lakukan sebenarnya sangat sederhana. Setiap Jumat sore, dia mengalokasikan 15 menit untuk empat hal: review transaksi minggu ini (2 menit), kategorisasi expenses (3 menit), flag transaksi yang suspicious (2 menit), dan update cash runway projection (8 menit).

Tools seperti Expensify bisa auto-categorize expenses. QuickBooks atau Xero melakukan bank sync otomatis. Bahkan Google Sheets sederhana pun cukup kalau masih bootstrapped.

Prinsipnya sederhana: kalau tidak bisa diukur, tidak bisa dimanage.


Set Target Revenue yang Realistis dan Breakdown ke Bulanan

Kebanyakan founder set revenue goals dengan cara yang terlalu vague: "Kami akan hit 10 miliar revenue tahun depan!"

Bagus. Tapi bagaimana caranya?

Masalahnya adalah vague goals akan menghasilkan vague execution, yang ujung-ujungnya target tidak tercapai.

Tanya Zhang, co-founder Nimble Made, punya advice yang menarik: "Break down financial objectives menjadi milestones yang manageable dan verifiable." Artinya, jangan cuma punya target tahunan. Harus ada target bulanan yang jelas, dan setiap bulan harus tahu exactly apa yang harus dilakukan untuk mencapai target tersebut.

Contoh praktis: kalau target adalah 1 miliar ARR, breakdown-nya jadi seperti ini. Januari: target 80 juta MRR, butuh 4 customer baru, action required adalah 20 sales calls per minggu. April: target 200 juta MRR, butuh 10 customer, action required adalah hire 1 sales rep. Juli: target 300 juta MRR, butuh 15 customer, action adalah launch marketing campaign. Desember: target 333 juta MRR, butuh 20 customer, scale team jadi 3 reps.

Dengan breakdown seperti ini, setiap bulan sudah tahu exactly apa yang harus dilakukan. Tidak ada lagi guessing atau "semoga aja bisa."

Cara menghitungnya sederhana. Annual target dibagi 12 untuk dapat monthly target. Monthly target dibagi average deal size untuk tahu berapa customer yang dibutuhkan. Jumlah customer dibagi close rate untuk tahu berapa leads yang diperlukan.

Monthly check-in juga penting. Apakah on track? Kalau tidak, adjust tactics—bukan cuma "bekerja lebih keras." Dan setiap quarter, lakukan adjustment. Market berubah? Update targets. Overperforming? Naikkan standar.


Otomasi Bookkeeping Karena Waktu Founder Lebih Berharga

Mari kita hitung matematikanya.

Manual bookkeeping menghabiskan waktu sekitar 10 jam per bulan. Kalau founder time dihargai 50 juta per bulan (sangat konservatif untuk startup yang sedang scaling), maka opportunity cost-nya adalah sekitar 12.5 juta rupiah setiap bulan—just untuk ngurusin pembukuan.

Belum lagi error rate dari manual work yang bisa mencapai 15-20%. Stress level yang meningkat karena harus bolak-balik cek angka. Dan yang paling berbahaya: data yang tidak real-time, jadi keputusan bisnis dibuat based on informasi yang sudah outdated.

Automated bookkeeping biayanya sekitar 3-15 juta per bulan, tergantung scale dan complexity. Error rate turun drastis jadi di bawah 2%. Dan yang paling penting: 10 jam per bulan itu bisa digunakan untuk hal yang lebih produktif—build product, sales, raise funding, atau bahkan sekedar tidur yang cukup.

ROI-nya mencapai ribuan persen.

Yang perlu diotomasi sebenarnya cukup straightforward. Level pertama adalah bank transactions yang auto-sync ke accounting software, receipt capture via mobile app, dan invoice generation plus payment reminders otomatis.

Level kedua dilakukan dalam 3 bulan pertama: payroll processing menggunakan tools seperti Gadjian atau Talenta, monthly financial reports yang auto-generated, dan budget alerts saat overspend.

Level ketiga untuk yang sudah Series A ke atas: full AP/AR automation, multi-currency management kalau sudah ekspansi regional, dan advanced forecasting models.

Untuk founder yang bootstrapped dengan budget di bawah 5 juta per bulan, stack-nya bisa sesederhana Wave (gratis) untuk accounting, bank digital lokal untuk kemudahan transaksi, dan Expensify free tier untuk expense tracking.

Untuk funded startup dengan budget 5-20 juta, bisa menggunakan QuickBooks Online plus bookkeeper part-time, bank yang kasih cash back rewards, atau bahkan full-service seperti yang ditawarkan beberapa fintech startup lokal.

Satu hal penting: invest di automasi sebelum merasa membutuhkannya. Jauh lebih susah untuk cleanup 12 bulan pembukuan yang berantakan dibanding start clean dari awal.

 

Mau tahu cara setup financial system yang proper dari awal? Course "Smart Pricing, Strong Planning" dan “Financial Management” dari kami yang bakal guide dari zero sampai punya financial planning yang solid. Perfect untuk founder yang baru mulai atau yang mau benerin sistem finance-nya.


Hire Finance Help Lebih Awal (Uang Paling Worth It yang Pernah Dikeluarkan)

Banyak founder berpikir: "Kami masih terlalu kecil untuk hire finance help. Bisa handle sendiri kok."

Translation sebenarnya: "Saya akan belajar accounting sambil juga ngurus product, sales, hiring, fundraising, dan tidak tidur."

Reality check: trying to DIY finances sama seperti jadi lawyer sendiri. Technically possible, practically sangat berisiko.

Mari kita lihat angkanya. Cost of NOT hiring help termasuk tax penalties untuk filing yang telat atau salah (bisa 10-50 juta), investor due diligence yang delay 2-6 bulan karena books berantakan, opportunity cost dari founder time (50-200 juta per tahun), dan errors di financial statements yang bisa kill funding rounds.

Sementara cost of hiring help jauh lebih murah: part-time bookkeeper sekitar 5-15 juta per bulan, fractional CFO 20-50 juta per bulan, atau full-service via fintech startup 10-30 juta per bulan.

Break-even point tercapai setelah hanya 1 bulan.

Kapan harus hire siapa? Di tahap pre-seed atau bootstrapping, cukup hire part-time bookkeeper 10 jam per bulan dengan budget 5-8 juta. Mereka handle transaction categorization, monthly reconciliation, dan basic reports.

Di tahap seed atau Series A (sudah raise 5-20 miliar), hire bookkeeper plus fractional CFO dengan total 20 jam per bulan dan budget 20-40 juta. Mereka handle financial modeling, investor reports, tax strategy, dan budgeting.

Series A ke atas dengan fundraise di atas 20 miliar, sudah waktunya hire full-time finance team atau full-service partner dengan budget 80-150 juta per bulan. Mereka handle everything termasuk strategic finance, fundraising support, dan audit preparation.

Ada beberapa red flags yang menandakan butuh help sekarang juga. Pertama, kalau bookkeeping sudah tertinggal 3 bulan atau lebih. Kedua, deadline pajak approaching dan merasa lost. Ketiga, investor minta financials dan response-nya adalah panic. Keempat, tidak tahu burn rate dalam margin 100 juta. Kelima, masih mixing personal dan business expenses.

Action step-nya sederhana. Hitung berapa worth-nya founder time per jam. Hitung berapa jam per bulan yang dihabiskan untuk urusan finance. Kalikan dua angka tersebut. Kalau hasilnya lebih dari 10 juta per bulan, hire help immediately.

Resource untuk cari talent finance cukup banyak. Bisa lewat freelance platform seperti Projects.co.id atau Sribulancer untuk bookkeeper lokal. Atau kalau mau yang lebih specialized, ada beberapa finance firm yang fokus ke startup di Indonesia.

Pro tip saat interview kandidat: tanya "Apa financial mess terburuk yang pernah ditangani, dan bagaimana cara memperbaikinya?" Hire yang punya war stories paling menarik, karena mereka sudah battle-tested.


Rutinitas "Finance Friday" yang Praktis

Karena founder umumnya sangat sibuk, berikut template sederhana untuk weekly 15-minute finance check yang bisa langsung dipakai.

Setiap Jumat jam 3 sore, set calendar invite recurring. Dalam 15 menit, lakukan lima hal ini secara berurutan.

Menit 1-2: review transactions. Cek apakah bank account balance sesuai, ada tidak unusual charges, dan semua receipts sudah tercapture.

Menit 3-5: kategorisasi expenses. Tag di accounting software, flag anything yang butuh approval, dan update project codes kalau applicable.

Menit 6-10: cash runway check. Catat current cash balance, hitung monthly burn rate, dan kalkulasi berapa bulan runway tersisa. Kalau di bawah 6 bulan, itu red flag yang harus segera ditangani.

Menit 11-13: revenue update. Hitung berapa new customers minggu ini, MRR yang bertambah, dan apakah on track untuk monthly target atau tidak.

Menit 14-15: action items. Catat ada tidak urgent invoices yang harus dibayar, follow up untuk late payments, atau budget adjustments yang diperlukan.

Selesai. Lima belas menit yang bisa menyelamatkan startup dari disaster.


Cerita dari Lapangan: Chaos ke Control dalam 6 Bulan

Ada satu case study yang cukup menarik. Sebuah startup fintech di Jakarta mengalami situasi yang chaos total di awal 2023. Personal dan business expenses tercampur, tidak ada weekly tracking, revenue targets sangat vague, semua masih manual, dan founder mengerjakan books sendirian sampai jam 1 pagi.

  • Mereka kemudian apply kelima tips di artikel ini secara bertahap. 
    Week 1: pisahkan accounts dan setup QuickBooks. 
    Week 2: implement Finance Friday routine. 
    Month 1: breakdown annual target jadi monthly milestones yang jelas. 
    Month 2: hire part-time bookkeeper dengan budget 6 juta per bulan. 
    Month 3: automate 90% dari bookkeeping process.

Hasil setelah 6 bulan? Cash position jadi crystal clear, berhasil raise 12 miliar seed round karena investor impressed dengan financial discipline, founder time saved 12 jam per bulan, zero finance-related stress, dan on track untuk semua revenue targets.

ROI-nya? 12 miliar funding dibagi 80 juta yang diinvest untuk finance setup sama dengan 15,000% return.


Kesimpulan: Pilih Yang Susahnya Sekarang, Bukan Nanti

Financial management memang bukan hanya gaya. Tidak ada founder yang start company karena ingin jadi accountant. Mereka ingin change the world, disrupt industries, solve problems.

Tapi realitanya sangat sederhana: produk terbaik di dunia tidak ada artinya kalau kehabisan uang sebelum product-market fit tercapai.

Kelima tips ini bukan teori. Ini battle-tested tactics dari founders yang survive dan thrive karena merapikan financial mereka dari early stage.

Tidak perlu jadi finance genius. Cukup lakukan hal sederhana: pisahkan rekening, check weekly selama 15 menit, plan secara realistis dengan monthly milestones, automate hal repetitif, dan dapat expert help lebih cepat.

Pilihan ada di tangan masing-masing founder. Spend 1 jam implement ini hari ini, atau spend 100 jam fixing financial disasters nanti.

Most founders tahu apa yang harus dilakukan. Tinggal action atau tidak.

Butuh Panduan Lebih Lengkap?

Kelima tips di atas cuma fondasi. Kalau mau deep dive ke financial management yang proper, dari bikin financial model, baca laporan keuangan, sampai prepare dokumentasi untuk investor. Founderplus punya course yang specifically designed untuk founder.

Course "Financial Management" dan "Financial Statement Fundamental" bakal kasih step-by-step framework yang bisa langsung diaplikasikan.

Bagikan:

Blog Founderplus

Artikel Terbaru

Kumpulan artikel terkini yang membantu kamu membangun dan mengembangkan bisnis.

5 Cara Praktis Atasi Imposter Syndrome untuk Young Founder

Sunday, Nov 09, 2025

5 Cara Praktis Atasi Imposter Syndrome untuk Young Founder

Bayangkan situasi ini: seorang founder berusia 25 tahun sedang duduk di kafe, persiapan pitch untuk investor besok pagi.

Read More: 5 Cara Praktis Atasi Imposter Syndrome untuk Young Founder
Financial Management untuk Non-Finance Founder

Monday, Nov 03, 2025

Financial Management untuk Non-Finance Founder

Kebanyakan founder startup punya cerita yang sama. Mereka punya ide brilian, tim yang solid, bahkan sudah dapat customer

Read More: Financial Management untuk Non-Finance Founder
4 Cara Menentukan Target Market untuk Produk Bisnismu

Saturday, Nov 09, 2024

4 Cara Menentukan Target Market untuk Produk Bisnismu

Menentukan Target Market untuk BisnisMenentukan target market bukan hanya soal memilih siapa yang akan membeli produk at

Read More: 4 Cara Menentukan Target Market untuk Produk Bisnismu

Gabung ke Founderplus Academy untuk Scale Up Startup-mu

Akses mentorship, program pembinaan, dan komunitas founder yang siap bantu bisnis kamu berkembang.

Pelajari Program Founderplus Academy