Ada satu jebakan yang sering menimpa founder pemula: sibuk tapi tidak tahu apakah bisnisnya sebenarnya maju atau jalan di tempat.
Orderan masuk, WhatsApp ramai, Instagram followers naik. Rasanya sibuk dan produktif. Tapi di akhir bulan, uang di rekening tidak bertambah—malah kadang berkurang. Apa yang salah?
Biasanya masalahnya sederhana: tidak ada angka yang dipantau secara konsisten.
"You can't improve what you don't measure" adalah klise yang sudah sering didengar. Tapi masalahnya, begitu mulai belajar soal metrics, kamu langsung dibombardir puluhan istilah: CAC, LTV, MRR, ARR, churn rate, conversion rate, bounce rate, engagement rate... Overwhelmed, akhirnya tidak mengukur apa-apa sama sekali.
Artikel ini menyederhanakan semuanya. Untuk bisnis yang baru mulai, kamu hanya butuh fokus ke lima angka. Lima. Tidak lebih.
Kalau lima ini sudah terpantau dengan baik, kamu punya fondasi untuk mengambil keputusan berdasarkan data—bukan feeling.
Kenapa Metrics Penting untuk Pemula
Sebelum masuk ke angka-angkanya, penting untuk paham dulu kenapa ini relevan bahkan untuk bisnis yang masih kecil.
Metrics bukan cuma untuk startup yang sudah dapat funding atau perusahaan besar dengan tim data analyst. Metrics adalah cara kamu menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang bisnis:
Apakah bisnis ini menghasilkan uang atau membakar uang? Apakah customer yang datang akan kembali lagi? Berapa lama bisnis ini bisa bertahan dengan kondisi sekarang? Apakah usaha marketing kemarin berhasil atau sia-sia?
Tanpa angka, jawaban kamu untuk pertanyaan-pertanyaan ini hanya berdasarkan perasaan. Dan perasaan bisa menipu—terutama ketika kamu sudah terlalu dekat dengan bisnismu sendiri.
Metrics memberi kamu reality check. Kadang menyakitkan, tapi selalu berguna.
Angka #1: Revenue (Pendapatan)
Ini yang paling obvious, tapi sering tidak dipantau dengan benar.
Revenue adalah total uang yang masuk ke bisnis kamu dalam periode tertentu. Bukan profit—hanya total pemasukan sebelum dikurangi biaya apapun.
Kenapa revenue, bukan profit dulu? Karena untuk bisnis yang baru mulai, kamu perlu tahu dulu apakah ada orang yang mau membayar. Profit adalah tahap selanjutnya.
Cara tracking yang benar:
Catat revenue harian atau mingguan, bukan cuma bulanan. Kenapa? Karena kalau cuma lihat bulanan, kamu tidak bisa lihat pola. Mungkin revenue tinggi di minggu pertama tapi drop di minggu ketiga. Mungkin ada hari-hari tertentu yang konsisten lebih tinggi.
Pisahkan revenue berdasarkan sumber kalau relevan. Misalnya: revenue dari Shopee, revenue dari Instagram, revenue dari customer langsung. Ini membantu kamu tahu channel mana yang paling menghasilkan.
Benchmark untuk pemula:
Tidak ada angka universal yang "bagus" karena sangat tergantung jenis bisnis. Yang lebih penting adalah tren: apakah revenue bulan ini lebih tinggi dari bulan lalu? Apakah rata-rata mingguan naik atau turun?
Untuk bisnis baru, target yang realistis adalah growth 10-20% month-over-month di tahun pertama. Tapi ini sangat bervariasi—yang penting adalah kamu punya baseline dan bisa lihat arahnya.
Angka #2: Customer Acquisition (Berapa Customer Baru per Bulan)
Revenue penting, tapi dari mana revenue itu berasal?
Customer acquisition adalah jumlah customer baru yang kamu dapat dalam periode tertentu. Ini angka yang sering diabaikan karena fokusnya hanya ke "penjualan", tanpa membedakan apakah itu dari customer baru atau customer lama yang repeat.
Padahal keduanya punya implikasi berbeda.
Kalau revenue naik tapi semua dari customer lama yang beli lebih banyak, itu bagus untuk jangka pendek tapi berisiko. Bagaimana kalau customer lama itu pergi? Kamu tidak punya pipeline customer baru untuk menggantikan.
Sebaliknya, kalau revenue naik karena banyak customer baru tapi tidak ada yang repeat, kamu mungkin punya masalah dengan produk atau layanan.
Cara tracking:
Setiap kali ada transaksi, catat apakah ini customer baru atau customer yang sudah pernah beli sebelumnya. Bisa sesederhana tambah kolom di spreadsheet penjualan.
Di akhir bulan, hitung: berapa total customer baru bulan ini?
Yang perlu diperhatikan:
Kalau kamu mengeluarkan uang untuk marketing atau iklan, mulai hitung juga CAC (Customer Acquisition Cost)—biaya rata-rata untuk mendapatkan satu customer baru.
Rumusnya sederhana: Total biaya marketing dibagi jumlah customer baru.
Misalnya bulan ini kamu spend Rp 1.000.000 untuk iklan Instagram dan dapat 20 customer baru. CAC kamu = Rp 50.000 per customer.
Angka ini penting karena nanti akan kamu bandingkan dengan berapa profit yang kamu dapat dari setiap customer. Kalau CAC lebih besar dari profit per customer, kamu rugi setiap kali dapat customer baru—dan itu tidak sustainable.
Angka #3: Customer Retention (Berapa Persen Customer yang Kembali)
Mendapatkan customer baru itu mahal dan susah. Mempertahankan customer yang sudah ada jauh lebih murah.
Customer retention mengukur berapa persen customer yang kembali lagi—entah untuk repeat purchase (kalau kamu jualan produk) atau tetap aktif menggunakan layanan (kalau kamu jualan jasa atau subscription).
Kenapa ini krusial:
Bisnis yang sehat punya customer yang kembali. Kalau 100% revenue kamu selalu dari customer baru dan tidak ada yang repeat, ada yang salah—entah produknya kurang bagus, layanannya mengecewakan, atau memang tidak ada alasan untuk kembali.
Biaya mendapatkan customer baru (CAC) hanya "balik modal" kalau customer itu bertransaksi lebih dari sekali. Kalau mereka cuma beli sekali lalu pergi, kamu harus terus-menerus spend untuk cari customer baru.
Cara menghitung:
Untuk bisnis produk, cara paling sederhana adalah: dari semua customer yang pernah beli bulan lalu, berapa persen yang beli lagi bulan ini?
Misalnya bulan lalu kamu punya 50 customer. Bulan ini, 15 dari mereka beli lagi. Retention rate = 15/50 = 30%.
Benchmark:
Angka retention sangat bervariasi tergantung industri. Untuk e-commerce, retention rate 20-30% sudah cukup bagus. Untuk bisnis subscription atau SaaS, target biasanya lebih tinggi: 80-90% per bulan.
Yang penting: ukur dulu angka baseline-mu, lalu usahakan untuk improve dari situ.
Angka #4: Unit Economics (Profit per Transaksi)
Ini angka yang sering di-skip pemula karena terdengar rumit. Padahal konsepnya sederhana: setiap kali ada transaksi, kamu untung atau rugi berapa?
Unit economics memaksa kamu jujur tentang apakah setiap penjualan benar-benar menghasilkan profit, atau sebenarnya kamu merugi tapi tidak sadar.
Contoh konkret:
Kamu jual kaos seharga Rp 150.000. Biaya produksi Rp 60.000, biaya packaging Rp 10.000, biaya kirim ditanggung kamu Rp 15.000, fee marketplace 10% = Rp 15.000.
Total biaya per transaksi = Rp 100.000. Profit per transaksi = Rp 150.000 - Rp 100.000 = Rp 50.000.
Ini artinya margin kamu sekitar 33%. Setiap kaos terjual, kamu untung Rp 50.000.
Kenapa ini penting:
Sekarang kamu bisa jawab pertanyaan kritis: apakah biaya untuk mendapatkan customer (CAC) masuk akal?
Kalau CAC kamu Rp 50.000 dan profit per transaksi Rp 50.000, kamu impas di transaksi pertama. Kalau customer itu beli lagi (retention), baru kamu benar-benar untung.
Tapi kalau CAC kamu Rp 100.000 sementara profit per transaksi cuma Rp 50.000, kamu rugi Rp 50.000 setiap dapat customer baru. Kecuali kamu yakin customer itu akan beli minimal 2x, model ini tidak sustainable.
Cara tracking:
Hitung semua biaya yang terkait langsung dengan satu transaksi. Kurangi dari harga jual. Itu profit per unit kamu.
Update perhitungan ini kalau ada perubahan—misalnya harga bahan naik atau kamu dapat rate pengiriman yang lebih murah.
Angka #5: Cash Runway (Berapa Lama Uang yang Ada Bisa Bertahan)
Ini angka yang menentukan hidup-matinya bisnis, tapi sering dilupakan karena fokus hanya ke revenue.
Cash runway menjawab pertanyaan: kalau kondisi tetap seperti sekarang, berapa bulan lagi uang kamu habis?
Kenapa bukan profit saja?
Profit di atas kertas berbeda dengan cash di tangan. Kamu bisa profitable secara kalkulasi tapi tetap bangkrut karena cash flow bermasalah.
Misalnya: customer belum bayar (piutang), stok barang menumpuk (inventory), atau pengeluaran bulanan lebih cepat dari pemasukan.
Cara menghitung:
Pertama, hitung rata-rata pengeluaran bulanan. Termasuk: biaya produksi, gaji (termasuk untuk diri sendiri), sewa, marketing, langganan tools, dan semua biaya operasional.
Kedua, hitung cash yang tersedia sekarang.
Runway = Cash tersedia ÷ Pengeluaran bulanan.
Contoh: Kamu punya Rp 30.000.000 di rekening. Pengeluaran rata-rata per bulan Rp 10.000.000. Runway kamu = 3 bulan.
Benchmark:
Untuk bisnis yang baru mulai, runway minimal 3-6 bulan adalah zona aman. Kurang dari itu, kamu perlu fokus ke cash flow sebelum hal lain.
Runway di bawah 3 bulan adalah warning sign. Kamu perlu either meningkatkan revenue, mengurangi pengeluaran, atau mencari tambahan modal.
Tentukan North Star Metric-mu
Lima angka di atas adalah fondasi. Tapi seiring bisnis berkembang, kamu perlu punya satu metric yang jadi fokus utama—istilahnya North Star Metric.
North Star Metric adalah satu angka yang kalau naik, kemungkinan besar bisnis kamu secara keseluruhan juga membaik. Ini membantu fokus dan menghindari kamu terombang-ambing antara terlalu banyak metrics.
North Star Metric berbeda untuk setiap jenis bisnis:
Untuk e-commerce atau jualan produk, biasanya GMV (Gross Merchandise Value)—total nilai transaksi. Atau bisa juga jumlah repeat customers.
Untuk bisnis subscription atau SaaS, biasanya MRR (Monthly Recurring Revenue)—total pendapatan berulang per bulan.
Untuk marketplace, biasanya transaction volume atau jumlah transaksi yang berhasil terjadi.
Untuk bisnis jasa, bisa jadi jumlah project selesai atau client retention rate.
Cara memilih:
Tanya ke diri sendiri: kalau cuma boleh improve satu angka dalam 3 bulan ke depan, angka mana yang akan paling berdampak ke keseluruhan bisnis?
Itu North Star-mu.
Hindari Vanity Metrics
Satu peringatan penting: tidak semua angka yang naik berarti bisnismu membaik.
Vanity metrics adalah angka yang terlihat bagus di permukaan tapi tidak benar-benar menunjukkan kesehatan bisnis.
Contoh vanity metrics:
Followers Instagram naik dari 1.000 ke 5.000. Kelihatan bagus, tapi apakah followers ini membeli? Kalau tidak, angka ini tidak berarti apa-apa untuk revenue.
Website traffic naik 200%. Impressive, tapi berapa yang convert jadi customer? Kalau conversion rate tetap rendah, traffic tinggi tidak menghasilkan apa-apa.
Likes dan comments di postingan. Menyenangkan dilihat, tapi tidak membayar tagihan. Yang penting adalah engagement yang mengarah ke transaksi.
Cara membedakan:
Vanity metrics membuat kamu merasa baik tapi tidak membantu pengambilan keputusan. Actionable metrics mungkin tidak selalu menyenangkan tapi memberikan insight untuk perbaikan.
Fokus ke metrics yang bisa kamu tindaklanjuti, bukan yang cuma bisa dipamerkan.
Setup Tracking Sederhana (Tanpa Tools Mahal)
Kamu tidak butuh software canggih untuk mulai tracking. Google Sheets atau Excel sudah lebih dari cukup untuk bisnis yang baru mulai.
Struktur spreadsheet sederhana:
Buat satu sheet untuk tracking harian/mingguan dengan kolom: tanggal, revenue, jumlah transaksi, jumlah customer baru, jumlah repeat customer, biaya marketing (kalau ada).
Buat satu sheet untuk ringkasan bulanan: total revenue, total customer baru, retention rate, profit per transaksi (update kalau ada perubahan biaya), cash runway.
Buat satu sheet untuk tracking cash flow: saldo awal bulan, pemasukan, pengeluaran (dipisah per kategori), saldo akhir.
Rutinkan:
Waktu paling penting adalah konsistensi. Lebih baik tracking sederhana yang dilakukan setiap hari daripada tracking kompleks yang cuma diisi sebulan sekali.
Set reminder untuk update data setiap hari atau minimal setiap minggu. Sekali jadi kebiasaan, ini tidak akan terasa berat.
Mulai dari Sini
Kalau kamu belum tracking apa-apa, mulai minggu ini:
Buat spreadsheet sederhana dengan lima metrics di atas. Tidak perlu fancy—yang penting bisa diisi dan dilihat.
Isi data historis kalau kamu punya catatan. Kalau tidak, mulai dari sekarang. Satu bulan dari sekarang kamu sudah punya baseline untuk dibandingkan.
Setiap minggu, luangkan 15-30 menit untuk review angka-angka ini. Tanya ke diri sendiri: apa yang naik? Apa yang turun? Kenapa? Apa yang bisa dilakukan?
Setelah 2-3 bulan, kamu akan mulai melihat pola dan bisa mengambil keputusan berdasarkan data—bukan cuma gut feeling.
Pelajari Lebih Lanjut
Kalau kamu ingin mendalami cara membangun bisnis dengan fondasi yang kuat, beberapa resource di Founderplus Academy bisa membantu:
- MVP Journey — cara memulai dengan fokus dan terukur
- Problem Solution Fit — memastikan kamu menyelesaikan masalah yang benar sebelum scale
Yang terpenting: mulai ukur, mulai catat, mulai lihat polanya. Data tidak harus sempurna di awal—yang penting kamu punya kebiasaan untuk melihat angka secara rutin.
Bisnis yang terukur adalah bisnis yang bisa diperbaiki.